Keratitis

Artikel di bawah ini merupakan riwayat artikel yang dibuat pada tanggal 17 Sep 2023 23:05 (1 tahun yang lalu).
Untuk melihat artikel ini dalam kondisi terupdate, silakan menuju halaman ini.

Definisi

Keratitis adalah peradangan kornea yang dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, virus atau suatu proses alergi imunologi. Keratitis merupakan radang pada kornea atau infiltrasi sel radang pada kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh sehingga tajam penglihatan menurun. Infeksi pada kornea bisa mengenai lapisan superfisial yaitu pada lapisan epitel atau membran bowman dan lapisan profunda jika sudah mengenai lapisan stroma

Epidemiologi

Data World Health Organization (WHO) menyebutkan terdapat 39 juta orang mengalami kebutaan. Kebutaan kornea menempati urutan kelima sebagai penyebab kebutaan penduduk di dunia setelah katarak, glaukoma, degenerasi makula, dan kelainan refraksi, sedangkan di negara-negara berkembang beriklim tropis, kebutaan kornea merupakan urutan kedua setelah katarak sebagai penyebab kebutaan dan penurunan ketajaman penglihatan

Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, infeksi kornea masih menempati urutan tertinggi dari infeksi mata pada umumnya, dan bahkan masih merupakan salah satu penyebab kebutaan. Keratitis yang disebabkan oleh bakteri adalah jenis keratitis yang paling parah komplikasinya. Sekitar 10 – 15% kasus keratitits yang disebabkan oleh bakteri mengakibatkan hilangnya penglihatan secara permanen. Dinegara maju seperti Amerika Serikat sekitar 25.000 penduduk menderita penyakit ini setiap tahunnya. Insiden ini dihubungkan dengan penggunaan lensa kontak yang berkepanjangan

Klasifikasi

Berdasarkan lapisan kornea yang terkena keratitis dapat diklasifikasikan menjadi keratitis superfisialis apabila lapisan epitel dan lapisan bowman yang terkena, dan keratitis profunda apabila lapisan stroma yang terkena. Berdasarkan pada lesi kornea, keratitis dapat diklasifikasikan menjadi:

  1. Keratitis epitelial Epitel kornea terlibat pada kebanyakan jenis konjungtivitis dan keratitis, dan pada kasus-kasus tertentu merupakan satu-satunya jaringan yang terlibat (misalnya pada keratitis pungtata superfisialis). Perubahan pada epitel sangat bervariasi, dari edema biasa dan vakuolasi sampai erosi kecil-kecil, pembuntukan filament, keratinisasi parsial, dan lain-lain. Lesilesi itu juga bervariasi lokasinya pada kornea. Semua variasi ini mempunyai makna diagnostik yang penting dan pemeriksaan biomikroskopik dengan dan tanpa pulasan fluorosein yang merupakan bagian dari setiap pemeriksaan mata bagian luar
  2. Keratitis stroma Respon stroma kornea terhadap penyakit termasuk infiltrasi, yang menunjukkan akumulasi sel – sel radang; edema muncul sebagai penebalan kornea, pengkeruhan atau parut; penipisan dan perlunakan, yang dapat berakibat perforasi, dan vaskulasrisasi. Pada respon ini kurang spesifik bagi penyakit ini, tidak seperti pada keratitis epithelial dan dokter sering harus mengandalkan informasi klinik dan pemeriksaan labpratorium untuk menetapkan penyebabnya
  3. Keratitis endotelial Disfungsi endothelium kornea akan berakibat ederma kornea, yang mula-mula mengenai stroma dan epitel. Ini berbeda dari edema kornea yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intraokuler, yang mulai pada epitel kemudian stroma. Selama kornea tidak terlalu sembab, sering masih mungkin dilihat kelainan morfologik endotel kornea dengan slitlamp. Sel– sel radang pada endotel (endapan keratik atau keratik precipitat) tidak selalu menandakan adanya penyakit endotel karena sel radang juga merupakan manifestasi dari uveitis anterior, yang dapat atau tidak menyertai keratitis stroma

Berdasarkan pada penyebabnya, keratitis dapat diklasifikasikan menjadi:

  1. Keratitis bakterial
  2. Keratitis viral 
  3. Keratitis jamur
  4. Keratitis protozoa
  5. Keratitis alergi 

Klasifikasi lain keratitis dapat diklasfikasikan menjadi:

  1. Keratitis dimmer atau keratitis numularis
  2. Keratitis filamentosa
  3. Keratitis lagoftalmus
  4. Keratitis neuroparalitik
  5. Keratitis sika
  6. Keratitis sklerotikan 

Etiologi

Keratitis merupakan kelainan pada kornea yang sering terjadi, merupakan peradangan pada kornea yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa ataupun jamur. Penyebab non infeksi juga dapat memicu terjadinya keratitis, beberapa kondisi seperti kurangnya air mata, keracunan obat, penggunaan lensa kontak, trauma pada mata, proses autoimun, defisiensi vitamin A, kelainan pada palpebra dan kelainan pada sistem persarafan mata juga dapat menjadi penyebab atau faktor resiko terjadinya keratitis

Patofisiologi

Beberapa faktor resiko termasuk terpaparnya mata terhadap kontaminasi benda asing, gangguan pada film air mata alami, mikrotrauma epitel permukaan kornea, penurunan fungsi kekebalan tubuh pada permukaan mata, hipoksia kornea pada pengguna lensa kontak dan lensa yang tidak tepat atau kebersihan mata yang kurang serta faktor resiko lain dapat menjadi penyebab terjadinya abrasi atau rusaknya lapisan kornea.

Abrasi pada kornea dapat memudahkan masuknya bakteri, virus, jamur ataupun protozoa dan agen infeksi maupun non infeksi lain terhadap kornea. Mikroorganisme yang masuk kedalam kornea ini dapat mengeluarkan enzim atau toksin yang bersifat litik terhadap epitel kornea, sehingga mikroorganisme ini dapat menembus masuk kedalam jaringan kornea yang lebih dalam. Terdapatnya mikroorganisme dan toksin dalam jaringan kornea akan memicu terjadinya respon imun pada kornea.

Kornea merupakan bagian mata yang avaskuler sehingga respon imun pada awal mulanya akan diperankan oleh sel stroma epitel yang berperan sebagai makrofag dan disusul dengan dilatasi pembuluh darah pada jaringan sekitar kornea. Dilatasi vaskuler pada jaringan kornea ini akan menimbulkan manifestasi klinis berupa injeksi perikornea atau mata menjadi merah.

Dilatasi pembuluh darah pada jaringan perikornea akan menyebabkan terjadinya infiltrasi dari sel-sel leukosit berupa sel polimorfonuklear, sel plasma yang akan menghasilkan enzim proteolitik, sitokin dan interleukin pro inflamasi untuk menyerang dan melisiskan mikroorganisme yang berada pada kornea. Adanya infiltrasi sel-sel leukosit pro inflamasi ini akan menyebabkan terbentuknya infiltrat pada jaringan kornea. Selain itu, adanya sitokin yang dihasilkan oleh sel pro inflamasi ini akan merusak jaringan epitel kornea dan memperluas kerusakan kornea sehingga menimbulkan bercak keabuan atau kekeruhan pada kornea dan kornea menjadi tidak licin.

Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Bias cahaya terjadi di permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di daerah pupil.

Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga diperberat dengan adanya gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh

Gejala Klinis

Gejala klinis pada keratitis dapat berbeda antara satu jenis keratitis dengan keratitis yang lain. Secara umum, terdapat trias keluhan keratitis yaitu gejala mata merah, rasa silau (fotofobia) dan merasa kelilipan (blefarospasma). keluhan yang dirasakan pada pasien dengan keratitis umumnya berupa nyeri pada mata, pengeluaran air mata berlebihan, fotofobia, penurunan visus, sensasi benda asing, rasa panas, iritasi okuler dan blefarospasme. Oleh karena korea memiliki banyak serat-serat saraf, kebanyakan lesi kornea baik superfisial ataupun profunda, dapat menyebabkan nyeri dan fotofobia

Diagnosis

  1. Keratitis bakterial
  • Anamnesis Kecurigaan akan adanya keratitis pada pasien dapat timbul pada pasien yang datang dengan trias keluhan keratitis yaitu gejala mata merah, rasa silau (fotofobia) dan merasa kelilipan (blefarospasma). Kebanyakan bakteri tidak dapat menetrasi kornea sepanjang epitel kornea masih intak, hanya bakteri gonococci dan difteri yang dapat menetrasi epitel korea yang intak. Gejala keratitis bakteria diantaranya adalah nyeri disertai dengan adanya sensasi benda asing pada mata, fotofobia, penurunan visus atau pandangan menjadi buram, lakrimasi, mata merah dan sekret purulen. Sekret purulen khas untuk keratitis bakteri sedangkan keratitis virus mempunyai sekret yang berair.
  • Pemeriksaan fisik pada keratitis meliputi inspeksi dengan menggunakan slit lamp dengan pencahayaan yang baik. Selain itu untuk melihat adanya defek pada epitel kornea yang tidak dapat dengan slit lamp dapat dilakukan pemeriksaan fluoresein untuk melihat adanya defek pada epitel kornea. Hasil pemeriksaan positif apabila ditemukan permukaan kornea berwarna hijau dengan sinar biru . Temuan dari pemeriksaan kornea yang diperoleh adalah adanya defek epitel dengan infiltrat berwarna putih kelabu dengan batas tegas. Defek kemudian meluas dan terjadilah edema stroma serta pelipatan membran descement. Gambaran ulkus bakteri berupa area berwarna putih kekuningan dengan bentuk oval atau iregular, batas ulkus membengkak dan terangkat, basis ulkus tertutup oleh jaringan nekrotik, dengan edema stroma di sekitar area ulkus. Dapat pula ditemukan hipopion. Keratitis Staphylococcus aureus biasanya berbentuk bulat atau oval dengan infiltrasi padat, infeksi cenderung berkembang perlahan dan infiltrat biasanya dangkal, serta lokasi sekitar kornea bersih, jika tidak di atasi dengan baik akan terjadi ulkus dengan infiltrate yang padat (Kanski, 2011). Gambar 2.3 Keratitis bakteri (Khurana, 2007)
  • Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu menegakan diagnosis keratitis bakterial adalah kultur bakteri, dengan menggores bagian tepi ulkus kornea menggunakan spatula steril lalu ditanam dimedia cokelat, darah dan agar sabouraud, kemudian dilakukan pengecatan dengan gram. Biopsi dapat dilakukan apabila hasil kultur menunjukan hasil negatif dan tidak ada perbaikan atau respon terhadap terapi.

2. Keratitis viral

  • Anamnesis Herpes simpleks virus (HSV) merupakan penyebab paling sering keratitis viral. Pasien seringkali datang dengan keluhan mata terasa nyeri, mata terasa silau (fotofobia), mata berair, kelopak mata bengkak, penurunan tajam penglihatan, mata merah (injeksi konjungtiva) dan pada beberapa kasus dapat diawali dengan demam .
  • Pemeriksaan fisik Keratitis viral yang disebabkan oleh HSV virus dapat menunjukan gambaran khas berupa ulkus dendritik yang terbentuk pada epitel kornea yaitu infiltrat pada permukaan kornea yang membentuk cabang dan pola percabangan linear khas dengan tepi yang kabur dan memiliki bulbus- bulbus terminalis pada ujungnya. Pemulasan dengam fluoresein membuat ulkus dendritik mudah dilihat. Ulkus dendritik yang kronik akan berkembang menjadi ulkus geografik yaitu bentuk ulkus dendritik kronik dengan lesi dendritik yang halus berbentuk lebeih lebar dengan tepi ulkus yang tidak terlalu kabur. Selain adanya gambaran ulkus khas pada infeksi virus HSV, sensasi kornea juga mengalami penurunan pada infeksi keratitis viral. Lesi epitelial kornea lain yang dapat ditimbulkan oleh virus HSV berupa keratitis epitelial bercak, keratitis epiteal stelata, dan keratitis filametosa, namun semua ini umumnya hanya sementara dan akan berkembang menjadi ulkus dendritik dalam waktu 2 hari. Keratitis HSV yang mengenai stroma akan menunjukan gambaran keratitis disiformis yaitu bentuk penyakit stroma yang paling umum pada infeksi HSV. Keratitis ini membentuk kekeruhan infiltrat yang bulat atau lonjong pada jaringan kornea disertai dengan edema kornea didaerah sentral yang berupa cakram.
  • Pemeriksaan penunjang Kerokan lesi epitel kornea pada keratitis HSV dapat ditemukan adanya sel-sel raksasa multinuklear. Pemeriksaan PCR dapat digunakan untuk mengidentifikasi HSV dari jaringan dan cairan juga dari sel-sel epitel kornea secara akurat, namun pada kebanyakan kasus, diagnosis dapat ditegakan secara klinis berdasarkan ulkus dendritik dan ulkus geografik serta adanya penurunan pada sensasi kornea.

3. Keratitis jamur

  • Anamnesis Kejadian keratitis jamur umumnya lebih jarang terjadi dibandingkan dengan keratitis bakterial. Keratitis jamur seringkali terjadi pada orang yang bekerja didaerah pertanian, orang yang menggunakan steroid dalam jangka waktu yang lama dan pengguna lensa kontak. Keluhan biasanya timbul 5 hari sampai 3 minggu setelah kontak. Pasien dengan keratitis jamur umumnya mengeluhkan sakit mata hebat, mata berair, pandangan silau, tajam penglihatan menurun, mata merah dan kadang sulit untuk membuka mata. 
  • Pemeriksaan fisik Hasil pemeriksaan mata pada keratitis jamur dapat ditemukan adanya ulkus indolen dengan infiltrat berwarna abu disertai dengan hipopion, peradangan yang nyata pada bola mata, ulserasi superfisial dan adanya lesi satelit yang umumnya lesi satelit menginfiltrasi daerah yang jauh dari lesi utama. Pada keratitis jamur juga dapat ditemukan adanya ulkus pada kornea.
  • Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakan diagnosis keratitis jamur adalah dengan pemeriksaan KOH 10%, dengan mengambil kerokan dari ulkus kornea yang ditetesi KOH 10% hasil positif apabila ditemukan adanya hifa. Selain pemeriksaan dengan KOH 10% pemeriksaan kultur jamur dan pewarnaan dengan giemsa dapat dilakukan untuk menemukan adanya jamur pada kerokan kornea. Pemeriksaan histopatologi dapat dipertimbangkan apabila hasil pemeriksaan dengan KOH 10%, kultur dan pewarnaan menunjukan hasil negatif serta tidak adanya respon terhadap terapi yang diberikan. 

Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab keratitis, menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea, mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi, serta memperbaiki ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu dinilai dalam mengevaluasi keadaan klinis keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya infiltrat. Terapi yang diberikan pada keratitis satu dengan yang lainnya berbeda, terapi diberikan berdasarkan pada penyebab dari keratitis

Medikamentosa

1. Keratitis bakteri

Penatalaksanaan keratitis bakteri hendaknya memperhatikan pemilihan antibiotik yang tepat. Pilihan antibiotik bakteri gram positif yang dapat digunakan adalah cefazolin, vancomisin, moxifloxacin, atau gatifloxacin. Vancomisin dapat digunakan pada pasien yang resisten terhadap bakteri staphylococcus. Pilihan antibiotik untuk bakteri gram negatif bentuk batang adalah tobramycin, ceftazidime, dan fluorokuinolon, sedangkan untuk bakteri gram negatif bentuk kokus dapat digunakan ceftriaxon, ceftazidime, moxifloxacin atau gatifloxacin. Sediaan antibiotik yang diberikan dapat berupa antibiotik topikal atau antibiotik subkonjungtiva

2. Keratitis viral

Obat topikal yang digunakan sebagai antiviral pada keratitis herpes adalah idoxuridine, trifluridine, vidarabine dan asiklovir. Trifuridine dan asiklovir efektif untuk infeksi stromal. Idoxuridine dan trifuridine seringkali menimbulkan efek toksik. Pemberian asiklovir oral dapat diberikan untuk keratitis viral yang berat. Dosis asiklovir yang diberikan untuk pasien dengan imunocompormised adalah 5x800 mg dan untuk pasien non imunocompormised dapat diberikan 5x400 mg. Asiklovir dapat diberikan dengan dosis 2x400 mg sebagai terapi profilaksis terhadap rekurensi keratitis herpes

3. Keratitis jamur

Terapi pada keratitis jamur dapat diberikan obat antifungi. Antifungi topikal harus diberikan setiap jam selama 48 jam dan diturunkan bila tanda sudah mereda. Keratitis candida dapat diterapi dengan amphotericin B 0,15% atau econazole 1%, alternatif yang dapat digunakan adalah natamycin 5%, fluconazole 2%, dan clotrimazole 1%. Infeksi fungi filamentosa diterapi dengan natamycin 5% atau econazole 1%, alternatif yang dapat digunakan adalah amphotericin B 0,15% dan miconazole 1% . Antifungi sistemik dapat diberikan pada kasus berat, bila lesi dekat dari limbus, atau suspek endoftalmitis. Dapat diberikan itraconazole 200 mg setiap hari, kemudian diturunkan menjadi 100 mg setiap hari, atau fluconazole 200 mg dua kali sehari. Pemberian obat sikloplegik, sebaiknya diberikan atropin 1% untuk mencegah spasme siliar dan untuk mencegah pembentukan sinekia posterior dari iridosiklitis sekunder