Kontributor Utama : Dr. Sultan Hasanuddin, SpM
Keratitis adalah peradangan kornea yang dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, virus atau suatu proses alergi imunologi. Keratitis merupakan radang pada kornea atau infiltrasi sel radang pada kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh sehingga tajam penglihatan menurun. Infeksi pada kornea bisa mengenai lapisan superfisial yaitu pada lapisan epitel atau membran bowman dan lapisan profunda jika sudah mengenai lapisan stroma
Data World Health Organization (WHO) menyebutkan terdapat 39 juta orang mengalami kebutaan. Kebutaan kornea menempati urutan kelima sebagai penyebab kebutaan penduduk di dunia setelah katarak, glaukoma, degenerasi makula, dan kelainan refraksi, sedangkan di negara-negara berkembang beriklim tropis, kebutaan kornea merupakan urutan kedua setelah katarak sebagai penyebab kebutaan dan penurunan ketajaman penglihatan
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, infeksi kornea masih menempati urutan tertinggi dari infeksi mata pada umumnya, dan bahkan masih merupakan salah satu penyebab kebutaan. Keratitis yang disebabkan oleh bakteri adalah jenis keratitis yang paling parah komplikasinya. Sekitar 10 – 15% kasus keratitits yang disebabkan oleh bakteri mengakibatkan hilangnya penglihatan secara permanen. Dinegara maju seperti Amerika Serikat sekitar 25.000 penduduk menderita penyakit ini setiap tahunnya. Insiden ini dihubungkan dengan penggunaan lensa kontak yang berkepanjangan
Berdasarkan lapisan kornea yang terkena keratitis dapat diklasifikasikan menjadi keratitis superfisialis apabila lapisan epitel dan lapisan bowman yang terkena, dan keratitis profunda apabila lapisan stroma yang terkena. Berdasarkan pada lesi kornea, keratitis dapat diklasifikasikan menjadi:
Berdasarkan pada penyebabnya, keratitis dapat diklasifikasikan menjadi:
Klasifikasi lain keratitis dapat diklasfikasikan menjadi:
Keratitis merupakan kelainan pada kornea yang sering terjadi, merupakan peradangan pada kornea yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa ataupun jamur. Penyebab non infeksi juga dapat memicu terjadinya keratitis, beberapa kondisi seperti kurangnya air mata, keracunan obat, penggunaan lensa kontak, trauma pada mata, proses autoimun, defisiensi vitamin A, kelainan pada palpebra dan kelainan pada sistem persarafan mata juga dapat menjadi penyebab atau faktor resiko terjadinya keratitis
Beberapa faktor resiko termasuk terpaparnya mata terhadap kontaminasi benda asing, gangguan pada film air mata alami, mikrotrauma epitel permukaan kornea, penurunan fungsi kekebalan tubuh pada permukaan mata, hipoksia kornea pada pengguna lensa kontak dan lensa yang tidak tepat atau kebersihan mata yang kurang serta faktor resiko lain dapat menjadi penyebab terjadinya abrasi atau rusaknya lapisan kornea.
Abrasi pada kornea dapat memudahkan masuknya bakteri, virus, jamur ataupun protozoa dan agen infeksi maupun non infeksi lain terhadap kornea. Mikroorganisme yang masuk kedalam kornea ini dapat mengeluarkan enzim atau toksin yang bersifat litik terhadap epitel kornea, sehingga mikroorganisme ini dapat menembus masuk kedalam jaringan kornea yang lebih dalam. Terdapatnya mikroorganisme dan toksin dalam jaringan kornea akan memicu terjadinya respon imun pada kornea.
Kornea merupakan bagian mata yang avaskuler sehingga respon imun pada awal mulanya akan diperankan oleh sel stroma epitel yang berperan sebagai makrofag dan disusul dengan dilatasi pembuluh darah pada jaringan sekitar kornea. Dilatasi vaskuler pada jaringan kornea ini akan menimbulkan manifestasi klinis berupa injeksi perikornea atau mata menjadi merah.
Dilatasi pembuluh darah pada jaringan perikornea akan menyebabkan terjadinya infiltrasi dari sel-sel leukosit berupa sel polimorfonuklear, sel plasma yang akan menghasilkan enzim proteolitik, sitokin dan interleukin pro inflamasi untuk menyerang dan melisiskan mikroorganisme yang berada pada kornea. Adanya infiltrasi sel-sel leukosit pro inflamasi ini akan menyebabkan terbentuknya infiltrat pada jaringan kornea. Selain itu, adanya sitokin yang dihasilkan oleh sel pro inflamasi ini akan merusak jaringan epitel kornea dan memperluas kerusakan kornea sehingga menimbulkan bercak keabuan atau kekeruhan pada kornea dan kornea menjadi tidak licin.
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Bias cahaya terjadi di permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea, segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di daerah pupil.
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga diperberat dengan adanya gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh
Gejala klinis pada keratitis dapat berbeda antara satu jenis keratitis dengan keratitis yang lain. Secara umum, terdapat trias keluhan keratitis yaitu gejala mata merah, rasa silau (fotofobia) dan merasa kelilipan (blefarospasma). keluhan yang dirasakan pada pasien dengan keratitis umumnya berupa nyeri pada mata, pengeluaran air mata berlebihan, fotofobia, penurunan visus, sensasi benda asing, rasa panas, iritasi okuler dan blefarospasme. Oleh karena korea memiliki banyak serat-serat saraf, kebanyakan lesi kornea baik superfisial ataupun profunda, dapat menyebabkan nyeri dan fotofobia
2. Keratitis viral
3. Keratitis jamur
Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab keratitis, menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea, mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi, serta memperbaiki ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu dinilai dalam mengevaluasi keadaan klinis keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya infiltrat. Terapi yang diberikan pada keratitis satu dengan yang lainnya berbeda, terapi diberikan berdasarkan pada penyebab dari keratitis
Medikamentosa
1. Keratitis bakteri
Penatalaksanaan keratitis bakteri hendaknya memperhatikan pemilihan antibiotik yang tepat. Pilihan antibiotik bakteri gram positif yang dapat digunakan adalah cefazolin, vancomisin, moxifloxacin, atau gatifloxacin. Vancomisin dapat digunakan pada pasien yang resisten terhadap bakteri staphylococcus. Pilihan antibiotik untuk bakteri gram negatif bentuk batang adalah tobramycin, ceftazidime, dan fluorokuinolon, sedangkan untuk bakteri gram negatif bentuk kokus dapat digunakan ceftriaxon, ceftazidime, moxifloxacin atau gatifloxacin. Sediaan antibiotik yang diberikan dapat berupa antibiotik topikal atau antibiotik subkonjungtiva
2. Keratitis viral
Obat topikal yang digunakan sebagai antiviral pada keratitis herpes adalah idoxuridine, trifluridine, vidarabine dan asiklovir. Trifuridine dan asiklovir efektif untuk infeksi stromal. Idoxuridine dan trifuridine seringkali menimbulkan efek toksik. Pemberian asiklovir oral dapat diberikan untuk keratitis viral yang berat. Dosis asiklovir yang diberikan untuk pasien dengan imunocompormised adalah 5x800 mg dan untuk pasien non imunocompormised dapat diberikan 5x400 mg. Asiklovir dapat diberikan dengan dosis 2x400 mg sebagai terapi profilaksis terhadap rekurensi keratitis herpes
3. Keratitis jamur
Terapi pada keratitis jamur dapat diberikan obat antifungi. Antifungi topikal harus diberikan setiap jam selama 48 jam dan diturunkan bila tanda sudah mereda. Keratitis candida dapat diterapi dengan amphotericin B 0,15% atau econazole 1%, alternatif yang dapat digunakan adalah natamycin 5%, fluconazole 2%, dan clotrimazole 1%. Infeksi fungi filamentosa diterapi dengan natamycin 5% atau econazole 1%, alternatif yang dapat digunakan adalah amphotericin B 0,15% dan miconazole 1% . Antifungi sistemik dapat diberikan pada kasus berat, bila lesi dekat dari limbus, atau suspek endoftalmitis. Dapat diberikan itraconazole 200 mg setiap hari, kemudian diturunkan menjadi 100 mg setiap hari, atau fluconazole 200 mg dua kali sehari. Pemberian obat sikloplegik, sebaiknya diberikan atropin 1% untuk mencegah spasme siliar dan untuk mencegah pembentukan sinekia posterior dari iridosiklitis sekunder