Fuchs Corneal Endothelial Dystrophy

Artikel di bawah ini merupakan riwayat artikel yang dibuat pada tanggal 13 Sep 2024 17:48 (2 bulan yang lalu).
Untuk melihat artikel ini dalam kondisi terupdate, silakan menuju halaman ini.

Sejarah

Ernst Fuchs (1851- 1930)1

Pada tahun 1910, Professor Ernst Fuchs melaporkan 13 kasus kekeruhan pada kornea sentral, hilang sensasi kornea, dan pembentukan bullae pada epitel. Dia beri nama sebagai distrofi epithelia kornea. Penyakit ini dapat memburuk pasca operasi katarak. Pada tahun 1920, patofisiologi distrofi Fuchs ditemukan sebagai penyakit utama pada endotel kornea. Alfred Vogt, seorang dokter spesialis mata Swiss yang pertama kali menggunakan istilah 'guttata sentral' pada tahun 1921.1,2

Pendahuluan

Distrofi endotel kornea Fuchs merupakan penyakit endotel kornea bilateral, asimetris, progresif lambat, yang ditandai dengan kerusakan sel endotel dan berkembangnya gutata, yang merupakan penonjolan dari membran descemet. Fuchs akan memburuk sangat lambat hingga kehilangan sel endotel dalam jumlah banyak sehingga kornea akan kehilangan deturgesensinya dan menyebabkan edema kornea, menyebabkan nyeri, silau, halo, dan penurunan tajam penglihatan. Fuchs merupakan distrofi endotel yang paling sering terjadi dan yang paling sering membutuhkan keratoplasti.

Etiologi

Distrofi endotel kornea Fuchs bersifat autosomal dominan. Namun hamper setengah kasus bersifat sporadik. Kebanyakan pasien tidak menyadari riwayat keluarga penyakit ini.

Epidemiologi

Distrofi endotel kornea Fuchs pada awalnya muncul kornea gutata pada usia dekade ke empat, tetapi kebanyakan pasien tidak memerlukan intervensi operasi sampai usia dekade ke enam atau tujuh. Fuchs merupakan penyebab paling sering transplantasi endotel kornea di dunia. Beberapa faktor resiko yang berkaitan dengan Fuchs diantaranya usia dan jenis kelamin. Pasien berusia diatas 40 tahun dan wanita memiliki resiko tinggi berkembang Fuchs. Faktor resiko lain yang mempengaruhi tingakt keparahan diantaranya merokok, diabetes melitus, dan paparan sinar UV.

Patofisiologi

Patofisiologi distrofi endotel kornea Fuchs meliputi beberapa mekanisme, diantaranya channelopathies, stress oksidatif, apoptosis, dan transisi epithelial-mesenkimal. Salah satu penyebab utama berkembangnya Fuchs adalah channelopathies pada endotel kornea, yang ditandai dengan malfungsi akibat mutasi pada gen kanal ion, SLC4A11. Sebagai tambahan, sel endotel pada pasien Fuchs terdapat penurunan aktivitas cytochrome oxidase yang menyebabkan disfungsi mitokondria sehingga terjadi insufisiensi ATP pada pompa endotel. Paparan sinar UV pada kornea menghasilkan spesies oksigen reaktif yang menyebabkan kerusakan pada DNA nukleus dan mitokondria sehingga terjadi apoptosis se endotel. Kompilasi kerusakan DNA menyebabkan akumulasi hilangnya sel endotel di sekitar dasar guttata, disfungsi mitokondria, dan degenerasi jaringan okular.

              Sel endotel yang mengalami degenerasi menghasilkan produk sekresi patologis yang disebut ekskresi hialin. Ekskresi tersebut dikenal sebagai gutata yang dapat ditemukan pada membran descemet. Pada tahap awal, guttata terisolasi dan umumnya tidak menyatu, dan sel endotel dapat mengkompensasi hilangnya sel dengan menjalani polimegatisme. Pada tahap 2, karena hilangnya endotelium di atas guttata, daerah kornea ini tidak mampu mempertahankan deturgesensi dan ketebalan kornea meningkat. Pada tahap ketiga, bula epitel dapat terbentuk karena memburuknya edema stroma, dan bula tersebut dapat pecah. Tahap terakhir meliputi jaringan parut subepitel dan vaskularisasi kornea.

Histopatologi

Pada mikroskop Cahaya tampak edema epitel intraseluler, pemisahan bulosa, penebalan stroma, kehilangan endotel, dan penebalan membran Descemet dengan nodul posterior. Mikroskop elektron akan menunjukkan degenerasi keratosit pada stroma kornea dan keratopati lipid

Tanda dan Gejala

Distrofi endotel kornea Fuchs biasanya bermanifestasi sekitar dekade keempat kehidupan dan dapat dibagi menjadi empat tahap, yang berlangsung antara 20 hingga 30 tahun.

              Tahap awal tidak dapat dibedakan dengan gutata kornea sentral. Pada tahap kedua, terjadi dekompensasi kornea dan edema kornea. Pasien akan mengeluhkan buram dan silau saat bangun tidur akibat peningkatan hidrasi kornea sepanjang malam saat kelopak mata tertutup. Terdapat kornea yang keruh, penglihatan malam yang buruk, dan nyeri saat berkedip. Pada tahan ketiga muncul bula epithelial yang menyebabkan penurunan penglihatan dan nyeri jika bula nya pecah. Tahap akhir terbentuk jaringan parut subepitelial dan kehilangan penglihatan yang buruk sampai hanya dapat melihat gerakan tangan saja.

              Pemeriksaan lampu celah dilakukan untuk menilai luasnya gutata dan Tingkat keparahan edema kornea. Pada tahan awal gutata muncul di tengah kornea dan memburuk ke perifer secara horizontal. Terdapat perubahan epithelial anterior kornea, mikrokistik, defek epitel, jaringan parut subepitelial, dan pada tahap 4 terdapat pannus, neovaskularisasi dan edema epithelial

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan pakimetri dari ketebalan kornea sentral digunakan untuk menilai derajat keparahan edema kornea dan mengevaluasi progresivitas penyakit. Mikroskop spekular dan konfokal akan menunjukkan jumlah dan morfologi sel endotel

Staging

Pada tahun 1978, Dr. Jay Krachmer dan timnya mengusulkan skala penilaian klinis untuk Distrofi Fuchs untuk menilai perkembangan penyakit secara subyektif.

Skala Krachmer:

Grade 0: negative, tidak ada penyakit

Grade 1: timbulnya penyakit definitif 0-12 guttata sentral dan non konfluen pada setidaknya satu mata; biasanya tanpa gejala

Grade 2: lebih dari 12 guttata sentral yang non konfluen pada setidaknya satu mata

Grade 3: zona guttata sentral konfluen 1-2 mm pada bidang horizontal

Grade 4: zona guttata sentral konfluen 2-5 mm pada bidang horizontal

Grade 5: salah satu guttata sentral konfluen >5 mm dengan atau tanpa edema stroma kornea dan/atau lapisan epitel

Selain itu, empat tahapan berbeda telah ditetapkan selama dua hingga tiga dekade:

Stage 1: tanpa gejala; Namun, pemeriksaan slit-lamp menunjukkan guttata sentral yang non konfluen dan membran Descemet yang menebal

Stage 2: guttata menyatu; Terdapat polimegatisme endotel kornea (variasi ukuran sel), pleomorfisme (variasi bentuk sel), dan hilangnya sel; gejala penglihatan kabur dan silau, terutama saat bangun tidur.

Stage  3: disfungsi pompa endotel; pembentukan bula pada lapisan epitel dan subepitel; perkembangan edema kornea

Stage 4: Edema kornea menyebabkan penglihatan buram, jaringan parut, dan penurunan penglihatan

Tatalaksana

Pasien sebaiknya melakukan evaluasi berkala setiap 6 bulan untuk menilai progresivitas penyakit. Tatalaksana operasi, apakah hanya operasi katarak, atau dikombinasikan dengan keratoplasty bergantung pada ketebalan sentral kornea dan densitas sel endotel.

              Tatalaksana medikamentosa seperti tetes mata atau salep hiperosmotik dapat memfasilitasi dehidrasi kornea. Perawatan suportif dan prosedur pembedahan lainnya seperti keratektomi fototerapi, transplantasi membran amnion, pungsi stroma anterior, dan flap konjungtiva dapat digunakan untuk meredakan gejala nyeri, terutama yang berhubungan dengan ruptur bula pada stadium akhir penyakit.

               Penetrating keratoplasty (PK), Descemet’s stripping automated endothelial keratoplasty (DSAEK), dan Descemet’s membrane endothelial keratoplasty (DMEK) adalah terapi definitif untuk memulihkan penglihatan. Pendekatan yang terbaru untuk mengelola disfungsi sel endotel kornea meliputi penggunaan Rho kinase (ROCK) inhibitor Y-27632, yang mendorong adhesi sel dan proliferasi sel endotel. Colagen crosslinking (CXL) dapat digunakan untuk mengurangi edema kornea, sehingga meningkatkan ketajaman penglihatan dan mengurangi ketidaknyamanan mata; namun, CXL mendapatkan hasil yang beragam

Prognosis

Fuchs adalah penyakit progresif, dan banyak pasien mengalami gangguan penglihatan berat pada dekade keenam atau ketujuh kehidupan yang memerlukan penanganan bedah. Kebanyakan pasien Fuchs yang dilakukan keratoplasti mengalami perbaikan penglihatan yang signifikan. Pasien yang menjalani keratoplasti endotel mengalami perbaikan penglihatan yang lebih cepat dan lebih baik dibandingkan dengan mereka yang menjalani PK

Komplikasi

Ada beberapa komplikasi yang berhubungan langsung dengan Fuchs, meliputi jaringan parut pada kornea dan penurunan ketajaman penglihatan. Selain itu, terdapat beberapa potensi komplikasi penatalaksanaan bedah: lepasnya kornea donor, penolakan, dan kegagalan; kebocoran luka; infeksi pasca operasi; hipertensi okular sekunder akibat penggunaan steroid; pembentukan katarak; cacat penyembuhan luka; dan komplikasi vitreoretinal. PK memiliki resiko komplikasi yang lebih tinggi, diantaranya astigmatisma pasca operasi dan robekan luka. Keratoplasti endotel lebih direkomendasikan. DMEK memiliki resiko lepas kornea donor dan rebubble lebih tinggi ketimbang DSAEK, namun tajam penglihatan pasien lebih baik dan resiko rejeksi lebih kecil.3

References

1.      Sen M, Honavar SG. Ernst Fuchs: Edelweiss of Ophthalmology. Indian J Ophthalmol. 2021 Apr; 69(4): 791–792.

2.      https://litfl.com/ernst-fuchs/

3.      Moshirfar M,  Somani AN, Vaidyanathan U, Pate BC. Fuchs Endothelial Dystrophy. 2024, StatPearls Publishing LLC.


Tag: Fuchs Fuchs Corneal Endothelial Dystrophy distrofi endotel Endothelial dystrophy